F-35 Lightning II |
Seolah membenarkan kultwit Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Pentagon lagi-lagi melaporkan bahwa mereka harus menghitung ulang estimasi kesiapan operasional F-35 Lightning II dan tambahan biaya ekstra yang dibutuhkan dalam menyiapkan pesawat tempur masa depan tersebut. Berita buruk itu datang dari laporan Michael J. Gilmore, Direktur Operational Test & Evaluation, badan di dalam Departemen Pertahanan AS yang bertanggungjawab menguji coba platform senjata baru.
Sesuai dengan kerangka waktu terakhir yang disampaikan Pentagon, F-35 seharusnya menyelesaikan fase System Development & Demonstration (SDD) sehingga bisa dilanjutkan ke fase Initial Operational Test & Evaluation (IOT&E) pada Agustus 2017.
F-35 sudah berada dalam fase SDD sejak 2001 dan sudah beberapa kali dijadwalkan mundur. Kenyataannya, fase yang seharusnya diwarnai dengan uji manuver dan penembakan seluruh sistem senjata yang dapat digotong oleh F-35 tersebut menemui banyak kendala.
Pengembangan sistem dan peranti lunak Block 3F yang memampukan integrasi dan beragam senjata untuk F-35 menghadapi masalah coding. Banyaknya bug juga dilaporkan mencapai lebih dari 2.000 item sehingga diperkirakan baru selesai pada bulan Juli 2018. Itupun jika estimasi saat ini berjalan dengan baik dan tidak ada masalah fatal lagi ke depannya.
Ini artinya, 200 F-35 yang sudah diproduksi berpotensi untuk mengurangi kemampuan misi atau mission capability (MC) pesawat tersebut. Saat ini persentase MC F-35 sendiri hanya mencapai 52% saja.
Sebagai gambaran, F-35B yang digunakan oleh Korps Marinir AS saat ini menggunakan versi Block 2b, sementara AU AS menggunakan Block 3i. Walaupun memiliki kemampuan umum untuk meluncurkan rudal udara-udara jarak pendek dan jauh, kemampuan serang presisinya sangat terbatas.
F-35 yang beroperasi saat ini belum mampu menggotong JSOW (Joint Stand Off Weapon) dan masih harus mengandalkan bom seperti Paveway III dan IV sehingga harus terbang sedekat mungkin ke sasaran yang pastinya dipertahankan oleh lapisan senjata anti pesawat.
Keterlambatan implementasi Block 3F tersebut pun akan berlarut, dimana beban terbesar akan ditanggung oleh depot perbaikan yang harus melakukan update di masa mendatang terhadap F-35. Padahal jika lancar, seharusnya produksi penuh F-35 yang keluar dari pabrikan sudah diasumsikan memiliki versi peranti lunak Block 3F yang krusial untuk menjadikan F-35 sebagai pesawat multi misi dan multiperan.
Berita lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah tidak mulusnya integrasi sistem senjata pada F-35. Peluncuran rudal BVR AIM-120 AMRAAM dari F-35 mengalami banyak kendala dimana tiga dari enam pengujian dinyatakan hanya berhasil sebagian atau malah gagal.
Kompatibilitas software juga menjadi bahan tertawaan, dimana saat problem kompatibilitas software untuk AIM-132 ASRAAM dibereskan, malah muncul problem pada kompatibilitas dengan AIM-9X Sidewinder. Pembersihan Bug atau patching untuk bom Paveway IV justru memunculkan bug lain untuk GBU-31.
Sensor di dalam F-35 pun konon tidak dapat menunjukkan koordinat yang akurat untuk serangan bom pintar. Dalam beberapa kasus, sistem Early Warning tidak bisa menunjukkan posisi radar musuh dengan tepat. Kalau begini caranya, kapan F-35 benar-benar bisa terwujud jadi pesawat super yang bisa bertugas di garis depan? Aryo Nugroho
Sumber : http://angkasa.co.id/