Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) |
Tanggal 14 Februari diperingati sebagai Hari Valentine dalam budaya populer di Amerika Serikat. Bagi Bangsa Indonesia, tanggal 14 Februari 1945 terjadi peristiwa bersejarah karena pemuda milisi To-Indo (Hindia Timur) pada pasukan Pembela Tanah Air (PETA) bangkit melawan Jepang di Blitar, Jawa Timur.
Dalam perkembangannya, puluhan ribu pemuda mantan PETA atau Kyodo Boei Giyugun itu berhubungan dengan mantan personil Angkatan Laut Jerman – Kriegsmarine – yang ditugaskan di Jawa sebagai bagian kekuatan Jepang semasa Pendudukan 1942-1945 dan Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949.
Sebagian besar personil Kriegsmarine tersebut menurut penulis Hitler’s Adventure in Asia, Henri Horst Geerken, berasal dari awak kapal selam – U Boot atau Unterzee Boot – dan penerbang yang berbasis di Batavia dan Surabaya.
Profesor M.C. Ricklefs yang mengajar di Universitas Monash, Melbourne mencatat pada Oktober 1943, penguasa militer Jepang mengambil langkah strategis memerintahkan pembentukan “Serdadu Ekonomi” alias Romusha yang sebetulnya adalah pekerrja paksa.
Pada saat sama, dibentuk pula pasukan Sukarela – Giyugun – yang diberi nama PETA dan organisasi baru untuk mengawasi serta memobilisasi umat Islam yakni Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Secara keseluruhan ada 200.000 Romusha yang dikerahkan ke daratan Asia Tenggara dan hanya 70.000 yang kembali. Sedangkan PETA pada akhir perang tahun 1945 memiliki anggota 37.000 orang di Jawa, 1.600 di Bali dan 20.000 orang di Sumatera.
Menurut Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, PETA tidak menjadi bagian resmi Rikugun – Angkatan Darat Jepang – berbeda dengan Heiho. PETA dibentuk untuk membantu Jepang menghadapi Sekutu.
Korps Perwira PETA berasal dari pejabat, guru, Kyai dan mantan serdadu KNIL. Upaya mobilisasi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa. Pada bulan Januari 1944 dibentuk Jawa Hokokai atau Persatuan Kebaktian Jawa yang dipimpin Bung Karno dan K.H. Hasjim Ashari.
Jawa Hokokai membawahi Tonari Gumi – kini Rukun Tetangga – yang melakukan indoktrinasi, mobilisasi dan laporan.
Konon, itulah asal muasal kewajiban seorang tamu lebih dari 1 x 24 jam di tempat baru harus melaporkan kedatangannya kepada Ketua RT setempat.
Berselang sebulan, pada Februari 1944 sudah terjadi perlawanan petani di Priangan, Jawa Barat dipimpin seorang Kyai NU.
Para Haji di Jawa Barat kemudian bangkit melawan Jepang pada bulan Mei dan Agustus yang kemudian terus berkembang menjadi perlawanan di sana-sini.
Secara umum, Jepang kewalahan, bulan Februari 1944 Kepulauan Marshall direbut Amerika Serikat. Pada bulan Juni, kepulauan Jepang mulai dibom pesawat Amerika.
Pada bulan September, Pulau Morotai sudah direbut Sekutu yang sebelumnya menguasai kembali Papua dari Hollandia – kini Jayapura – hingga daerah Vogel Kop atau Kepala Burung di Manokwari, Sausapor dan Sorong.
Akhirnya, batas kesabaran para milisi PETA pun mencapai akhir. Pada tanggal 14 Februari 1945, dipimpin Supriyadi, Detasemen PETA memberontak menguasai Blitar.
Mereka menyerbu gudang senjata dan membunuh beberapa serdadu Jepang. Sayang perlawanan itu berhasil diisolir Jepang.
Sebanyak 68 prajurit PETA diajukan ke Mahkamah Militer dan delapan orang diantaranya dihukum mati. Mereka dieksekusi di Komplek Eereveld Ancol, Batavia tanggal 16 Mei 1945.
Jepang memang takut menghadapi perlawanan PETA dan negeri yang diduduki karena selanjutnya, bulan Maret 1945, pasukan bentukan Jepang di Birma bangkit melawan mereka.
Pasukan Birma di bawah pimpinan Aung San – ayah Aung San Su Kyii – bergabung bersama Sekutu mengambil-alih Birma.
Angkatan Laut Jerman
Semasa pendudukan Jepang, Henri Horst Geerken mencatat sekurangnya lebih dari 50 kali misi pengiriman U-Boot AL Jerman – Kriegsmarine – ke Pulau Jawa.
Selain itu, terdapat pula puluhan pesawat ampibi AL Jerman berpangkalan di Surabaya.
Sejarawan Didi Kwartanada mengatakan, pangkalan kapal selam Jerman terbesar terdapat di Penang, Malaya selain pangkalan di Batavia dan Surabaya.
Tokoh di balik aktivitas Jerman di Hindia-Belanda adalah kakak-beradik Emil dan Theodore Helferrich yang memilki kebun teh yang lokasinya kini di dekat gerbang Tol Gadog, Bogor.
Geoffrey Bennet penulis The Pepper Trader mengisahkan sepak-terjang keluarga Helferrich dalam membangun bisnis dan menyiapkan jejaring bagi Kriegsmarine dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Adapun Henri Geerken menambahkan fakta pada tahun-tahun di antara PD I dan PD II, Karl Donitz komandan satuan U-Boot Jerman pernah bertemu dengan Helferrich di Surabaya.
Helferrich bersaudara menyediakan fasilitas istirahat bagi para awak U-Boot yang sandar di Batavia.
Penguasa Jerman Nazi kala itu, Adolf Hitler sangat memahami makna strategis Hindia-Belanda melalui salah satu penasehat utamanya yakni Walter Hewel yang pernah bermukim di Jawa Barat tahun 1926-1935.
Hewel adalah sosok yang menyalin gagasan Hitler yang dibukukan dalam Mein Kampf – Perjuanganku.
Ketika Perang Berakhir, Geerken menerangkan, sejumlah awak U-Boot dan juga orang Jerman lainnya seperti Rosenow, Komandan pertama KRI Dewaruci, terlibat aktif dalam perjuangan Indonesia.
“Mereka melatih mantan anggota PETA di Akademi Militer Jogjakarta dan juga memasok peralatan perang seperti topi baja (helm Fritz), botol minum, sangkur, senapan Karbine dan lain-lain,” kata Geerken.
Perlengkapan militer Jerman memang dikenal di Jawa. Setidaknya dalam buku Tjamboek Berduri dan peringatan 6 Bulan Indonesia Merdeka yang diterbitkan Harian Merdeka dan dicetak ulang Gallery Foto Antara, terlihat gambar petugas Pertahanan Kota (Staadswacht) sebelum Jepang mendarat di Jawa tahun 1942 dan pejuang pemuda Tionghoa Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945, mengenakan helm Fritz.
Geerken menerangkan, sejumlah mantan veteran TNI seperti almarhum KSAL Laksamana R.E. Martadinata mengakui saat Revolusi Fisik diajar sejumlah instruktur militer mantan Angkatan Laut Jerman.
Demikian pula diketahui ada beberapa personil AL Jerman yang berperang bagi pihak Indonesia dan gugur dalam pertempuran.
Sebagian besar personil AL Jerman yang tersisa, menurut sejarawan Didi Kwartanada, ditahan Sekutu di Kepulauan Seribu sebelum dipulangkan ke Eropa.
Setelah Jerman menyerah, Mei 1945, ada dua U-Boot di Batavia yang diambil alih Jepang. Namun, secara keseluruhan tidak diketahui pasti berapa banyak personil AL Jerman yang bergabung ke pihak Republik Indonesia.
Bobot kesalahan ideologis personil AL Jerman di mata Sekutu tidaklah berat. Kebanyakan anggota AL Jerman adalah kelompok beragama yang Anti-Nazi.
Perlakuan Sekutu terhadap mereka berbeda tidak seperti anggota SS – Schutzstaffel yang fanatik Nazi dan banyak diadili atas kejahatan perang.
Keluarga Helfferich kemudian mendirikan tugu peringatan bagi Skuadron Asia Timur AL Jerman di komplek perkebunan mereka di Cikopo.
Selain itu terdapat pula enam makam pelaut Jerman di sekitar monumen yang bagi masyarakat Sunda disebut Arca Domas.
Geoffrey Bennet mencatat, setiap tahun pertengahan bulan November pada Volkstrauertag – Hari Peringatan Korban Perang – Kedubes Jerman selalu mengadakan upacara mengenang jasa para Pelaut AL Jerman yang berperang di Nusantara untuk Tanah Airnya dan kemudian sebagian juga terlibat dalam perjuangan Republik Indonesia yang baru merdeka.
Sumber : http://wartakota.tribunnews.com/2017/01/16/kisah-peta-dan-angkatan-laut-jerman-di-jawa?page=4
Dalam perkembangannya, puluhan ribu pemuda mantan PETA atau Kyodo Boei Giyugun itu berhubungan dengan mantan personil Angkatan Laut Jerman – Kriegsmarine – yang ditugaskan di Jawa sebagai bagian kekuatan Jepang semasa Pendudukan 1942-1945 dan Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949.
Sebagian besar personil Kriegsmarine tersebut menurut penulis Hitler’s Adventure in Asia, Henri Horst Geerken, berasal dari awak kapal selam – U Boot atau Unterzee Boot – dan penerbang yang berbasis di Batavia dan Surabaya.
Profesor M.C. Ricklefs yang mengajar di Universitas Monash, Melbourne mencatat pada Oktober 1943, penguasa militer Jepang mengambil langkah strategis memerintahkan pembentukan “Serdadu Ekonomi” alias Romusha yang sebetulnya adalah pekerrja paksa.
Pada saat sama, dibentuk pula pasukan Sukarela – Giyugun – yang diberi nama PETA dan organisasi baru untuk mengawasi serta memobilisasi umat Islam yakni Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Secara keseluruhan ada 200.000 Romusha yang dikerahkan ke daratan Asia Tenggara dan hanya 70.000 yang kembali. Sedangkan PETA pada akhir perang tahun 1945 memiliki anggota 37.000 orang di Jawa, 1.600 di Bali dan 20.000 orang di Sumatera.
Menurut Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, PETA tidak menjadi bagian resmi Rikugun – Angkatan Darat Jepang – berbeda dengan Heiho. PETA dibentuk untuk membantu Jepang menghadapi Sekutu.
Korps Perwira PETA berasal dari pejabat, guru, Kyai dan mantan serdadu KNIL. Upaya mobilisasi dan pengawasan dilakukan sedemikian rupa. Pada bulan Januari 1944 dibentuk Jawa Hokokai atau Persatuan Kebaktian Jawa yang dipimpin Bung Karno dan K.H. Hasjim Ashari.
Jawa Hokokai membawahi Tonari Gumi – kini Rukun Tetangga – yang melakukan indoktrinasi, mobilisasi dan laporan.
Konon, itulah asal muasal kewajiban seorang tamu lebih dari 1 x 24 jam di tempat baru harus melaporkan kedatangannya kepada Ketua RT setempat.
Berselang sebulan, pada Februari 1944 sudah terjadi perlawanan petani di Priangan, Jawa Barat dipimpin seorang Kyai NU.
Para Haji di Jawa Barat kemudian bangkit melawan Jepang pada bulan Mei dan Agustus yang kemudian terus berkembang menjadi perlawanan di sana-sini.
Secara umum, Jepang kewalahan, bulan Februari 1944 Kepulauan Marshall direbut Amerika Serikat. Pada bulan Juni, kepulauan Jepang mulai dibom pesawat Amerika.
Pada bulan September, Pulau Morotai sudah direbut Sekutu yang sebelumnya menguasai kembali Papua dari Hollandia – kini Jayapura – hingga daerah Vogel Kop atau Kepala Burung di Manokwari, Sausapor dan Sorong.
Akhirnya, batas kesabaran para milisi PETA pun mencapai akhir. Pada tanggal 14 Februari 1945, dipimpin Supriyadi, Detasemen PETA memberontak menguasai Blitar.
Mereka menyerbu gudang senjata dan membunuh beberapa serdadu Jepang. Sayang perlawanan itu berhasil diisolir Jepang.
Sebanyak 68 prajurit PETA diajukan ke Mahkamah Militer dan delapan orang diantaranya dihukum mati. Mereka dieksekusi di Komplek Eereveld Ancol, Batavia tanggal 16 Mei 1945.
Jepang memang takut menghadapi perlawanan PETA dan negeri yang diduduki karena selanjutnya, bulan Maret 1945, pasukan bentukan Jepang di Birma bangkit melawan mereka.
Pasukan Birma di bawah pimpinan Aung San – ayah Aung San Su Kyii – bergabung bersama Sekutu mengambil-alih Birma.
Angkatan Laut Jerman
Semasa pendudukan Jepang, Henri Horst Geerken mencatat sekurangnya lebih dari 50 kali misi pengiriman U-Boot AL Jerman – Kriegsmarine – ke Pulau Jawa.
Selain itu, terdapat pula puluhan pesawat ampibi AL Jerman berpangkalan di Surabaya.
Sejarawan Didi Kwartanada mengatakan, pangkalan kapal selam Jerman terbesar terdapat di Penang, Malaya selain pangkalan di Batavia dan Surabaya.
Tokoh di balik aktivitas Jerman di Hindia-Belanda adalah kakak-beradik Emil dan Theodore Helferrich yang memilki kebun teh yang lokasinya kini di dekat gerbang Tol Gadog, Bogor.
Geoffrey Bennet penulis The Pepper Trader mengisahkan sepak-terjang keluarga Helferrich dalam membangun bisnis dan menyiapkan jejaring bagi Kriegsmarine dalam Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Adapun Henri Geerken menambahkan fakta pada tahun-tahun di antara PD I dan PD II, Karl Donitz komandan satuan U-Boot Jerman pernah bertemu dengan Helferrich di Surabaya.
Helferrich bersaudara menyediakan fasilitas istirahat bagi para awak U-Boot yang sandar di Batavia.
Penguasa Jerman Nazi kala itu, Adolf Hitler sangat memahami makna strategis Hindia-Belanda melalui salah satu penasehat utamanya yakni Walter Hewel yang pernah bermukim di Jawa Barat tahun 1926-1935.
Hewel adalah sosok yang menyalin gagasan Hitler yang dibukukan dalam Mein Kampf – Perjuanganku.
Ketika Perang Berakhir, Geerken menerangkan, sejumlah awak U-Boot dan juga orang Jerman lainnya seperti Rosenow, Komandan pertama KRI Dewaruci, terlibat aktif dalam perjuangan Indonesia.
“Mereka melatih mantan anggota PETA di Akademi Militer Jogjakarta dan juga memasok peralatan perang seperti topi baja (helm Fritz), botol minum, sangkur, senapan Karbine dan lain-lain,” kata Geerken.
Perlengkapan militer Jerman memang dikenal di Jawa. Setidaknya dalam buku Tjamboek Berduri dan peringatan 6 Bulan Indonesia Merdeka yang diterbitkan Harian Merdeka dan dicetak ulang Gallery Foto Antara, terlihat gambar petugas Pertahanan Kota (Staadswacht) sebelum Jepang mendarat di Jawa tahun 1942 dan pejuang pemuda Tionghoa Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945, mengenakan helm Fritz.
Geerken menerangkan, sejumlah mantan veteran TNI seperti almarhum KSAL Laksamana R.E. Martadinata mengakui saat Revolusi Fisik diajar sejumlah instruktur militer mantan Angkatan Laut Jerman.
Demikian pula diketahui ada beberapa personil AL Jerman yang berperang bagi pihak Indonesia dan gugur dalam pertempuran.
Sebagian besar personil AL Jerman yang tersisa, menurut sejarawan Didi Kwartanada, ditahan Sekutu di Kepulauan Seribu sebelum dipulangkan ke Eropa.
Setelah Jerman menyerah, Mei 1945, ada dua U-Boot di Batavia yang diambil alih Jepang. Namun, secara keseluruhan tidak diketahui pasti berapa banyak personil AL Jerman yang bergabung ke pihak Republik Indonesia.
Bobot kesalahan ideologis personil AL Jerman di mata Sekutu tidaklah berat. Kebanyakan anggota AL Jerman adalah kelompok beragama yang Anti-Nazi.
Perlakuan Sekutu terhadap mereka berbeda tidak seperti anggota SS – Schutzstaffel yang fanatik Nazi dan banyak diadili atas kejahatan perang.
Keluarga Helfferich kemudian mendirikan tugu peringatan bagi Skuadron Asia Timur AL Jerman di komplek perkebunan mereka di Cikopo.
Selain itu terdapat pula enam makam pelaut Jerman di sekitar monumen yang bagi masyarakat Sunda disebut Arca Domas.
Geoffrey Bennet mencatat, setiap tahun pertengahan bulan November pada Volkstrauertag – Hari Peringatan Korban Perang – Kedubes Jerman selalu mengadakan upacara mengenang jasa para Pelaut AL Jerman yang berperang di Nusantara untuk Tanah Airnya dan kemudian sebagian juga terlibat dalam perjuangan Republik Indonesia yang baru merdeka.
Sumber : http://wartakota.tribunnews.com/2017/01/16/kisah-peta-dan-angkatan-laut-jerman-di-jawa?page=4